Salam Asli Minang
Sanak sadonyo, bersama ini kami sampaikan tentang bagian asli yang selama ini jadi rahasia dan jarang diketahui.
Kota Bukittinggi di Provinsi Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Minangkabau yang kaya dengan adat istiadat dan tradisi.
Adat di Bukittinggi memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya, terutama dalam hal hubungan sosial, ekonomi, dan keagamaan.
Namun, tidak semua adat yang diwariskan secara turun-temurun ini sesuai dengan ajaran agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat Bukittinggi.
Adat yang cocok dengan agama Islam umumnya memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadis.
Salah satu contohnya adalah adat pernikahan yang mengikuti syariat Islam, di mana proses ijab kabul dilakukan sesuai dengan tuntunan agama.
Pernikahan ini biasanya diawali dengan pertunangan atau “batimbang tando” yang juga diisi dengan doa dan zikir.
Adat “basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” atau adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Al-Qur’an adalah prinsip utama yang memandu masyarakat dalam menjalankan adat.
Prinsip ini menekankan bahwa segala adat harus didasarkan pada ajaran Islam, sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Upacara adat seperti “turun mandi” untuk bayi yang baru lahir, dilakukan dengan membaca doa-doa dan ayat-ayat suci Al-Qur’an, mencerminkan bagaimana adat dan agama saling melengkapi.
Peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Idul Fitri juga diwarnai dengan adat lokal yang memperkuat rasa kebersamaan dan kekeluargaan.
Pada perayaan Maulid Nabi, masyarakat sering mengadakan “bagarakan” atau gotong royong untuk membersihkan masjid dan lingkungan sekitar, sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah.
Begitu pula dengan perayaan Idul Fitri yang selalu diawali dengan tradisi “balimau” atau mandi besar untuk menyucikan diri sebelum menyambut hari raya, yang meskipun berbentuk adat, namun memiliki makna religius yang dalam.
Adat Minangkabau juga mendorong kegiatan ekonomi yang jujur dan adil, yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
Contohnya, dalam berdagang, masyarakat diajarkan untuk tidak curang dan selalu menjaga amanah, sesuai dengan ajaran Islam tentang kejujuran dalam muamalah.
Adat “rantau” atau merantau bagi laki-laki Minangkabau juga didukung dengan ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk mencari ilmu dan rezeki di berbagai tempat.
Namun, terdapat juga adat yang kurang cocok dengan ajaran agama Islam. Salah satunya adalah tradisi “mandi safar” yang dilakukan pada bulan Safar dengan tujuan menolak bala atau kesialan, yang bertentangan dengan tauhid dalam Islam.
Islam mengajarkan bahwa hanya kepada Allah SWT kita meminta perlindungan, bukan melalui ritual tertentu yang tidak ada dasarnya dalam syariat.
Beberapa upacara adat kematian yang berlebihan juga tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Islam mengajarkan kesederhanaan dalam prosesi kematian, sementara beberapa adat lokal justru mewajibkan keluarga yang berduka untuk mengadakan kenduri besar-besaran yang bisa memberatkan mereka.
Kenduri yang dilakukan secara berlebihan ini bisa dianggap tidak sejalan dengan prinsip Islam yang mengutamakan kemudahan dan tidak membebani.
Praktik “bakar uang” atau membakar kertas yang menyerupai uang sebagai simbol penghormatan kepada arwah nenek moyang, juga bertentangan dengan ajaran Islam tentang kesyirikan.
Islam melarang segala bentuk penyembahan atau penghormatan yang mendekati pemujaan kepada selain Allah SWT.
Meski demikian, banyak masyarakat yang telah menyadari hal ini dan mulai meninggalkan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Adat “manjalang mintuo” atau kunjungan menantu kepada mertua setelah menikah, sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya silaturahmi dan menjaga hubungan baik dengan keluarga.
Tradisi ini memperkuat ikatan kekeluargaan dan saling menghormati antar anggota keluarga, sesuai dengan prinsip Islam tentang ukhuwah dan silaturahmi.
Namun, adat ini juga harus dilakukan tanpa menyalahi aturan syariat, seperti memastikan aurat tetap terjaga dan tidak ada campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Dalam hal kepemimpinan, adat Minangkabau mengajarkan tentang pentingnya musyawarah dan mufakat, yang juga sesuai dengan ajaran Islam.
Pepatah “Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mupakat” yang berarti bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat, mencerminkan pentingnya kebersamaan dan kesepakatan dalam mengambil keputusan, mirip dengan konsep syura dalam Islam.
Musyawarah yang dilakukan dalam setiap keputusan adat menunjukkan bagaimana adat dan agama bisa berjalan seiring dalam membangun masyarakat yang harmonis.
Namun, beberapa adat terkait dengan ritual tertentu seperti “bantai adat” yang melibatkan hewan tertentu dengan cara yang tidak sesuai syariat bisa menjadi masalah.
Islam mengajarkan tata cara penyembelihan hewan yang harus sesuai dengan syariat, sehingga adat yang tidak mengikuti aturan ini dianggap tidak cocok dengan ajaran agama.
Oleh karena itu, banyak masyarakat yang mulai menggantikan praktik ini dengan cara penyembelihan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Adat yang mengajarkan tentang kejujuran, kesederhanaan, dan kerja keras sangat cocok dengan ajaran Islam.
Pepatah “Alah bisa dek biasa” yang berarti terbiasa karena sering dilakukan, mengajarkan pentingnya konsistensi dalam melakukan kebaikan dan ibadah, yang juga sangat ditekankan dalam Islam.
Namun, adat yang mengandung unsur-unsur kepercayaan kepada kekuatan selain Allah harus dihindari dan disesuaikan dengan ajaran tauhid.
Adat yang mengajarkan penghormatan kepada orang tua dan leluhur, seperti dalam ungkapan “Duduak samo randah, tagak samo tinggi” yang berarti duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, juga sangat cocok dengan ajaran Islam.
Islam menekankan pentingnya berbakti kepada orang tua dan menjaga hubungan baik dengan kerabat.
Namun, penghormatan ini harus dilakukan dalam batas-batas yang ditentukan oleh syariat, tanpa melibatkan unsur syirik atau pemujaan yang berlebihan.
Secara keseluruhan, adat dan agama di Kota Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat, memiliki hubungan yang saling melengkapi dan kadang-kadang bertentangan.
Masyarakat Minangkabau berusaha untuk menyesuaikan adat dengan ajaran Islam, dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang.
Prinsip “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” menjadi pedoman utama dalam menyelaraskan adat dan agama, sehingga keduanya bisa berjalan beriringan dalam membentuk masyarakat yang harmonis dan religius.
Demikianlah informasinya, semoga bermanfaat.